
Hujan rintik waktu itu. Saya bergegas menembus jalanan pagi yg padat dgn payung terkembang, berpacu dgn pejalan kaki lainnya, juga mobil dan motor yg suka merebut kavling pejalan kaki di trotoar. Saya harus segera tiba di kantor. Tiba-tiba, sesuatu menghentikan langkah kaki saya dan memaksa saya menoleh.
Lagi, untuk yg kesekian kali, seorang wanita berusia di akhir 60 tahunan, berkain, berkebaya, dan berkerudung sampir. Ia menyandang tas kantong, berjalan tertatih tanpa pelindung dari hujan.
”Ibu hendak ke mana?” sapa saya. Payung langsung saya condongkan ke arah beliau. Bersama kami melangkah satu-satu menapaki jalan yg licin dan berlubang-lubang.
”Mau naik angkot di depan situ, Neng, Ibu hendak ke Cibubur.”
Masya Allah! Cibubur? Dari Salemba? Sendirian? Dalam hujan tanpa payung?
”Ibu sendirian?” Saya masih bertanya, sekadar menepis kegalauan meski saya tidak butuh jawaban sebab apa yg saya saksikan toh sudah menjawab pertanyaan itu.
”Allah yang mengantarkan saya, Neng!” jawabnya, melegakan saya dan membuat saya kagum.
Akhirnya, ketika saya melepaskan naik mikrolet 01A, saya tidak lagi merasa terlalu bersalah. Allah yg akan mengantarkannya sampai tujuan.
Entah berapa kali saya menjumpai peristiwa serupa. Semuanya mendorong satu rasa, yaitu iba. Bagaimana tidak? Dia melangkah satu-satu. Jarak 500 meter ditempuh lebih dari setengah jam. Belum lagi trotoar yang miring, berlubang, atau dihuni kendaraan parkir sehingga kadang-kadang pejalan kaki terpaksa turun ke badan jalan yang penuh dengan kendaraan lalu lalang. Terkadang saya berpikir, Ke mana anak-anak mereka? Ke mana cucu-cucu mereka hingga membiarkan bapak, ibu, atau eyangnya bepergian sendiri? Di Jakarta pula.
Mungkin dunia memang sudah sedemikian tua hingga penghuninya tidak lagi memiliki cinta dan perhatian, bahkan kepada orang tua sendiri yg sudah mulai lemah. Barangkali dunia memang sudah sedemikan merana hingga orang di jalanan tidak lagi menganggap manula sebagai makhluk lemah yg perlu dikasihani.
Akan tetapi, sebentar! Apa hak saya ”menuduh” anak dan cucu yang mengabaikan orang tua atau eyangnya di jalanan? Apa hak saya ”menghakimi” manusia dan dunia yang tidak lagi memperdulikan para manula? Memangnya saya sudah berbuat baik kepada eyang saya dgn sempurna?
Saya merasa perlu mengoreksi kembali penilaian saya kepada para anak dan cucu dari eyang-eyang di jalan raya untuk mencoba menemukan alasan mereka tidak mengantarkan orang tua atau eyangnya yang bepergian. Barangkali saja keluarganya miskin sehingga tidak mampu mengantarkan beliau dengan kendaraan yang memadai. Bisa saja anak-anaknya sedang sibuk bekerja demi memenuhi kebutuhan hidup yang kian melilit. Mungkin saja cucu-cucunya sedang bersekolah samapai sore dan masih ditambah dengan kesibukan membantu pekerjaan rumah tangga. Barangkali ada alasan, entah apa lagi. Namun, semoga saja, meski anak dan cucunya tidak mengantarkan para eyang di jalanan itu, mereka tetap memberi perhatian dan berbuat baik kepada eyangnya dgn cara yg lain. Dengan demikian, Allah akan melindungi mereka, seperti kata ibu tua tadi, ”Allah yg mengantarkan saya, Neng!”
Semoga demikian adanya dan semoga yang demikian itu adalah melalui tangan kita. Ya, semoga Allah menolong para eyang itu dengan menggerakkan hati dan meringankan langkah kita untuk mengantar dan menemani eyang di jalanan itu. Semoga kemudian, Allah menolong dan menjaga eyang dan orang tua kita karena kita mengikhlaskan hati menolong para eyang di sekeliling kita.
... karena mereka adalah eyangku, eyangmu, eyang kita semua.
-Diah Murwati-
Tidak ada komentar:
Posting Komentar