
Orang berduyun-duyun meninggalkan tempat tinggalnya, menuju tempat beraktivitas masing-masing; sekolah, kantor, dan pasar, yang kebetulan semua terkonsentrasi di pusat kota. Semua berjibaku. Semua bersecepat. Jalanan pun menjadi macet. Bunyi klakson bersahutan. Derum motor dan mobil bergantian, sesekali diselingi umpatan. Banyak juga yang menggerutu diam-diam. Tidak sedikit yang sekadar menghela napas panjang secara berulang, kemudian berubah menjadi dengusan.
Mengapa dunia menjadi terlihat sedemikian menyebalkan?
Padahal, matahari masih sepenggalah?
Padahal hari baru saja dimulai?
Rasanya semua menjadi salah dan menjengkelkan. Terjebak di tengah kemacetan, suasana rumah sebelum berangkat pun tergambar: bangun kesiangan, berebut kamar mandi, baju belum diseterika, sarapan pun belum sempat. Akhirnya berangkatlah terburu-buru dengan dada disesaki kekesalan. Bersegara berangkat dengan harapan bisa lepas dari keributan kecil di rumah, selain juga karena ingat masih ada tugas yang belum diselesaikan, masih belum belajar untuk ulangan, ada pekerjaan yang harus diselesaikan hari ini, atau ada presentasi yang belum disiapkan. Aduh, pusiiiing!
Tetapi?
Tampaknya, cita-cita itu tidak bakal terwujud. Kekesalan yang dibawa dari rumah tidak hilang, malah bertambah. Kemacetan di sepanjang jalan malah semakin membuat bete. Berjubelnya kereta membuat diri lecek luar dalam: fisik dan hati. Tiba di tujuan, mood sudah hilang. Lesu, capek, muka berlipat, dan jengkel.
Bagaimana mungkin tiba di kantor dengan kondisi seperti ini bisa bekerja dengan nyaman dan menjalankan tugas dengan baik? Bagaimana mungkin tiba di sekolah atau kampus dalam mood seperti ini bisa belajar dengan efektif?
Matahari masih sepenggalah, tetapi rasanya dunia sudah sedemikian kelam dan mendung. Jika saja seperti ini: tiba di tempat tujuan, kita luangkan sedikit waktu untuk menuju toilet, membersihkan diri, membenahi dandanan, dan merapihkan pakaian. Jangan lupa basuh wajah, tangan, dan rambut. Lebih baik lagi berwudhu yang sejuk sedikit menurunkan suhu jiwa dan raga yang panas. Kemudian, menuju mushala, sejenak mendirikan shalat dhuha. Dua rakaat pun cukup. Hati pun tenang, kondisi stabil, dan niat kembali tertata. Mental kita pun siap mengerjakan dan menghadapi tugas-tugas yang menghadang hingga kita bisa mengerjakan semua dengan maksimal. Jika demikian, masihkah mendung tergambar di wajah kita?
Terakhir, mungkin ini bisa menjadi pengingat dan penambah semangat dari Nuwas bin Sam’an r.a bahwa Rasulullah bersabda, Allah berfirman, “Wahai anak Adam, sembahyanglah engkau empat rakaat pada permulaan siang (shalat dhuha), niscaya kucukupi kebutuhanmu sore harinya” (H.R. Turmudzi)
Aha! Siapa yang tidak mau dijamin rezekinya oleh Allah?
^Diah Murwati^
-Proses Perubahan Untuk Menjadi Pribadi Unggul-
^_^
Tidak ada komentar:
Posting Komentar