
Macet! Macet! Macet!

Macet! Macet! Macet!
Baru masuk kota sudah macet. Di dalam kota juga masih macet. Bahkan, di jalan-jalan protokol pun macet. Di mana, sih, jalan di Jakarta ini yang tidak macet? Padahal, jalan sudah lebar. Bahkan sudah banyak jalan dibuat satu arah. Terakhir, malah banyak dibangun fly over dan underpass untuk mengurangi kemacetan. Namun, mengapa Jakarta masih juga macet?
Pertambahan panjang jalan dan pertambahan banyaknya kendaraan tidak sebanding. Itu salah satu alasan. Sopir angkutan umum tidak disiplin dan sering ngetem di pertigaan, perempatan, atau tempat-tempat umum. Sebab berikutnya, pengguna jalan tidak disiplin dan saling serobot. Selain itu, penataan kota pun menjadi satu di antara penyebab masalah ini: antara kawasan pasar, terminal, dan jalan raya menjadi satu.
Masih banyak jawaban lainnya. Namun, semuanya berkonotasi "mereka" dengan arti pemerintah, sopir angkot, para pedagang kaki lima di pinggir jalan, dan lain-lain. Semua penyebab kemacetan adalah orang lain bukan kita.
Semua yang berkonotasi orang lain adalah sesuatu yang di luar kontrol kita, saya percaya kita pun akan bisa membenahinya. At least, dalam masalah traffic jam ini, kita akan sedikit bisa berkontribusi.
Coba kita urai lebih dalam. Mengapa para sopir angkot ngetem di perempatan? Karena jika ngetem di halte, sopirnya bilang, "Tidak akan memperoleh penumpang."
Mengapa karena kita para konsumennya, malas berjalan agak jauh sedikit. Kita lebih suka mencegat angkot di tengah jalan atau di pojok perempatan tanpa peduli bahwa tindakan kita akan menyebabkan mobil di belakang terhalangi atau kendaraan dari arah silang tidak bisa lewat jika itu lampu merah.
Jika demikian, siapa yang menyebabkan sopir angkot ngetem di lokasi-lokasi yang potensial menyebabkan kemacetan panjang?
Begitulah...
Akan tetapi, saat berada di dalam angkot, buskota, atau mobil pribadi yang terjebak kemacetan kita mengeluh, menggerutu, bahkan mengumpat orang dan pihak lain atas kemacetan yang sedang terjadi. Sementara itu, jauh di depan, sumber kemacetan itu tidak menyadari bahwa mereka menyebabkan kemacetan dan diumpat banyak orang. Mereka itu adalah pengguna jalan yang menyeberang sembarangan, atau pengguna mobil pribadi yang main serobot. Termasuk diantara mereka itu adalah kita di waktu dan tempat yang lain.
Tidak percaya?
Pernahkah Anda melalui Jalan Raya Gunung Sahari yang membelah Atrium dan Terminal Senen? Demi ketertiban, pemerintah sudah membangun jembatan penyeberangan yang menghubungkan dua tempat itu. Pemerintah pun sudah membangun pagar pemisah jalur berlawanan, bahkan pagar pemisah jalur cepat dan jalur lambat. Akan tetapi, toh, kemacetan tetap saja terjadi karena pejalan kaki yang dari dan menuju kedua tempat itu lebih memilih melintasi celah pagar besi yang telah dipotong-oleh orang2 yg tdk bertanggungjawab-daripada sedikit berolah raga melemaskan kaki menaiki jembatan.
Demikian juga yang terjadi di Jalan Senen Raya depan Atrium. Jalan itu hanya satu arah dan sangat lebar. Akan tetapi, setiap pagi, kemacetan terjadi karena rata-rata penumpang lebih suka naik turun kendaraan di pojok, dekat perempatan. Para pengguna jalan lebih suka menempuh resiko menyebrang di tengah padatnya arus kendaraan di mana pun mereka ingin. Jembatan bagus itu pun sepi dan zebra cross pun terabaikan.
Itu hanya sedikit contoh...
Ada faktor lain, itu tidak kita nafikan. Akan tetapi, di sini, kita ingin mengurai sesuatu yang dapat kita kontrol dan yang dapat kita kerjakan. Itu adalah sesuatu yang berhubungan dengan individu-individu kita, sesuatu yang disebut pemerintah sebagai tingkat disiplin bangsa yang lemah. Akan tetapi, saya lebih suka menyebutnya egoisme pribadi yang tinggi. Egois untuk kepentingan kita sebagai perseorangan atau institusi. Bagaimana tidak bisa disebut egois jika kita naik dan turun bus di persimpangan semata-mata karena kita ingin lebih cepat dan lebih mudah tanpa peduli akibatnya pada orang lain?
Saya hanya membayangkan, jika sebagian besar penumpang kendaraan bersedia menunggu angkutan di tempat yang seharusnya, tidak perlu ada kemacetan yang disebabkan angkot ngetem sembarangan. Jika sebagian besar pejalan kaki bersedia menggunakan jembatan penyeberangan alih-alih memotong besi pagar pembatas jalan, tidak perlu lagi kemacetan di jalan-jalan umum.
Jika...
Jika bersedia sedikit lebih banyak memikirkan efek samping dari tindakan kita pada orang lain, kita dapat memberikan kontribusi positif terhadap pembangunan budaya disiplin dan empati kepada orang lain. Pada gilirannya nanti, hal-hal besar yang lain dapat dicapai. Misalnya, tercegahnya banjir karena saat kita membuang sampah sembarangan, kita ingat keluarga, saudara, dan teman di manapun yang bisa kebanjiran akibat ulah kita. Tanah longsor tidak perlu terjadi karena kerakusan dan keegoisan kita menebangi pohon-pohon hutan. Sesungguhnya, salah satu dosa besar adalah berbuat kedzaliman terhadap banyak orang.
***********
Tidak ada komentar:
Posting Komentar